PAPER SISTEM POLITIK
“REKRUTMEN POLITIK”
Disusun Oleh:
1. Unggul F 11417141014
2.
Sarwindah Asyifa 11417141023
3.
Pujo Selo P 11417141029
4.
Dyah Retnowati 11417141035
5.
M. Septian Adi C. 11417141040
PRODI ILMU ADMINISTRASI
NEGARA REGULER
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2012
A.
Latar belakang
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang
terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat
sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.
Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu
proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya.
Dalam sistem politik tersebut terdapat salah satu faktor penting untuk
menjaga eksistensinya, yaitu rekrutmen politik. Rekrutmen politik merupakan
salah satu fungsi yang dimiliki oleh partai politik.
Rekrutmen politik, menggambarkan inisiasi para anggota dalam politik. Dalam
proses inisiasi para anggota politik dalam pemerintahan Indonesia dipengaruhi
oleh budaya patronage. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa budaya
patron-klien yang terjadi pada pemerintahan rezim Soeharto telah kita lalui
dengan akhir krisis politik-ekonomi dan budaya.
Pada proses rekrutmen politik masa Orde Baru yang condong pada kepentingan
golongan (Golongan Karya) dan dominasi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia) mencemari demokrasi. Namun, sebagaimana sebuah budaya yang merupakan
sikap individu terhadap sistem politik, komponen di dalamnya, serta peranan di
dalam sistem politik. Proses rekrutmen politik di Indonesia tidak dapat hilang
seluruhnya. Didukung dengan orientasi politik masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan
golongan (subjektif), maka budaya patron-klien terus merembes ke proses
rekrutmen politik masa reformasi hingga sekarang.
Lalu mengapa rekrutmen politik dilakukan, bagaimana proses rekrutmen
politik Indonesia dan pengaruhnya pada Masa Orde Baru dan masa sekarang akan
dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses
rekrutmen politik di Indonesia pada masa Orde Baru dan masa sekarang?
2.
Bagaimana pengaruh
proses rekrutmen politik terhadap sistem politik pada masa Orde Baru dan masa
sekarang?
C.
Landasan Teori
Gambar 1
Model Sistem Politik Gabriel Almond
Political recruitment merupakan proses pengisian jabatan
politik dalam penyelenggaraan politik pemerintahan negara.
1.
Pengertian Rekrutmen Politik
Lembaga politik mempunyai tiga fungsi sebagaimana yang telah
digambarkan oleh Almond sebagai berikut;
a.
Sosialisasi politik
Merupakan fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap
politik di kalangan penduduk atau melatih rakyat untuk
menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan yudisial tertentu.
b.
Rekrutmen politik
Merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik
dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi
anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan, dan
ujian.
c. Komunikasi politik
Merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan
melalui berbagai struktur yang ada dalam sistem politik.
Menurut
Fadillah Putra dalam bukunya yang bejudul Partai
Politik dan Kebijakan Publik, rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi
atau rekrutmen anggota-anggota kelompoknya dalam jabatan-jabatan administrasi
maupun politik.
Berdasarkan
pengertian di atas, rekrutmen politik biasanya mencakup pemilihan, seleksi dan
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah
peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya
(Surbakti,1992:118). Pengangkatan
ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal
seperti dalam sistem politik secara totaliter, atau manakala partai ini
merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang
membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Jadi, fungsi rekrutmen
merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Czudnowski
seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra dalam bukunya yang berjudul “Partai Politik dan Kebijakan Publik” ,
mengemukakan definisi rekrutmen politik yaitu: “The
process through which individuals or group of individuals are inducted into
active political roles”
“Suatu
proses yang berhubungan dengan individu-individu atau kelompok individu yang
dilantik dalam peran-peran politik aktif.”
Menurut
Czudnomski dalam bukunya Fadillah Putra yang berjudul “Partai Politik dan kebijakan Publik” mengemukakan mekanisme
rekrutmen politik antara lain:
a. Rekrutmen
terbuka, di mana syarat dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh dapat
diketahui secara luas. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi
elit politik yang berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini
memberikan kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit
politiknya. Dengan demikian cara ini sangat kompetitif. Jika dihubungkan dengan
paham demokrasi, maka cara ini juga berfungsi sebagai sarana rakyat mengontrol
legitimasi politik para elit. Adapun manfaat yang diharapkan dari rekrutmen
terbuka adalah:
1.
Mekanismenya demokratis
2.
Tingkat kompetisi politiknya
sangat tinggi dan masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar
mereka kehendaki
3.
Tingkat akuntabilitas pemimpin
tinggi
4.
Melahirkan sejumlah pemimpin
yang demokratis dan mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi.
b. Rekrutmen tertutup, berlawanan dengan cara rekrutmen terbuka. Dalam
rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara bebas
diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal dari
dalam tubuh partai itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota
masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan
demikian cara ini kurang kompetitif. Hal ini menyebabkan demokrasi berfungsi
sebagai sarana elit memperbaharui legitimasinya.
Berdasarkan
beberapa penjabaran tentang mekanisme rekrutmen politik di atas, maka sistem
terbuka mencerminkan partai tersebut betul-betul demokratis dalam menentukan
syarat-syarat dan proses yang ditempuh dalam menjaring calon elit politik.
Sistem yang demokratis akan dapat mencerminkan elit politik yang demokratis
pula. Sedangkan mekanisme rekrutmen politik yang tertutup akan dapat
meminimalkan kompetisi di dalam tubuh partai politik yang bersangkutan, karena
proses yang ditempuh serba tertutup. Sehingga masyarakat kurang mengetahui
latar belakang elit politik yang dicalonkan partai tersebut.
2.
Ada beberapa variabel penting dalam
proses rekrutmen dan pengembangan kader.
a.
Kualitas Rekrutmen
Partai harus memiliki kualifikasi
standar untuk merekrut para kandidat. Biasanya, dalam era baru demokrasi,
partai merekrut para kandidat yang bersedia untuk memberikan kompensasi politik
dan keuangan untuk pencalonan dirinya. Kualifikasi standar sebaikmya mencakup
aspek-aspek, seperti integritas, dekat dengan rakyat (societal roots),
pengalaman politik, keterampilan dasar, dan sesuai dengan platform partai.
i.
Standarisasi Rekrutmen dan Kepatuhan
Standarisasi rekrutmen harus dilakukan secara konsisten di
seluruh kantor daerah partai politik, guna memastikan praktek rekrutmen yang
umum dan para kandidat memiliki kualifikasi yang sama diseluruh tingkatan.
ii.
Desentralisasi Rekrutmen
Hampir tidak mungkin bagi kantor pusat partai politik untuk
memverifikasi seluruh proses seleksi secara efektif, sehingga diperlukan
desentralisasi dalam tingkatan tertentu. Kantor pusat partai seharusnya
berpartisipasi secara aktif dalam menyeleksi kandidat parlemen di tingkat
nasional, akan tetapi ketika menyeleksi kandidat provinsi dan kecamatan kantor pusat
partai seharusnya juga memiliki peran utama. Dalam mengimplementasikan struktur
yang terdesentralisasi, kantor pusat partai hanya menyediakan mekanisme kontrol
untuk memastikan unsur kepatuhan sesuai dengan standarisasi yang tersedia dalam
penyeleksian. Kantor daerah partai dapat berpartisipasi dalam menyeleksi para
kandidat di tingkat administrasi yang lebih tinggi dengan memberikan masukan
dan informasi tentang kandidat. Singkatnya, terdapat tiga aspek utama dalam
rekrutmen, antara lain kualitas kualifikasi, standarisasi dan kepatuhan, dan
tingkat desentralisasi.
iii.
Kualitas Pengembangan Kader
Kegiatan pengembangan kader di dalam partai politik harus
berkaitan dengan kualilfikasi nominasi. Bahan untuk pengembangan kader harus
memasukkan pembangunan integritas, mendorong dan melatih para kader guna
membangun kedekatan dengan masyarakat dan program partai politik, pelatihan
keterampilan dasar di dalam organisasi, dan promisi ideologi dan platform
partai. Pengembangan kader dilakukan guna mencapai tujuan sebagai berikut:
Petama, membangun partai dengan sumber internal untuk pemilihan para kandidat
dan memastikan proses regenerasi di dalam tubuh partai dengan memunculkan
beberapa pemimpin
partai masa depan. Kegiatan pengembangan kader yang dilakukan secara regular
merupakan indikator
kualitas proses di dalam partai.
iv.
Standarisasi, Kepatuhan, dan Desentralisasi Pengembangan
kader
Sama halnya dengan rekrutmen, konsistensi di seluruh
tingkatan yang berbeda dalam organisasi partai memastikan kader dengan kualitas
yang merata. Partisipasi dari anggota partai di tingkatan yang berbeda dalam
organisasi juga dapat memastikan efisiensi dalam proses yang berarti kader
daerah tidak harus bergantung hanya pada kantor pusat partai.
b. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi dalam Pelaksanaan Rekrutmen Politik
Faktor pertama, ini bukan
mempertanyakan atau membahas siapa yang akan menjadi bakal calon pemimpin untuk
negeri ini kedepannya melainkan lebih menekankan terhadap persoalan disekitar politik, kekuasaan rill dan berada disuatu
historis.
Persoalan
di sekitar politik berarti setiap calon-calon pemimpin
yang akan dipilih harus mampu mengoptimalisasikan segala tenaga dan upayanya
untuk menyeimbangkan segala polemik-polemik yang sedang terjadi di negara ini untuk dipersempit
dampaknya.Sehingga iming-iming tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luas
untuk memilihnya sebagai calon pemimpin kedepannya.
Kekuasaan rill berarti seorang calon pemimpin
harus memiliki teknik yang tersimpan di dalam konsep pikiranya untuk
dikembangkan ketika telah menjadi pemimpin. Konsep tersebut berisi suatu cara
bagimana mempengaruhi masyarakat luas sehingga mampu dipercaya untuk memimpin
dalam periode yang lama dan abadi.
Unsur yang terakhir, berada dalam suatu historis artinya setiap
pemimpin otomatis menginginkan nama dan jasa-jasanya selalu terekam dalam benak
pikiran masyarakat dan setiap calon pemimpin harus mampu merangkai konsep
tersebut sebelum dirinya terpilih menjadi pemimpin.
Rekrutmen politik memiliki suatu
pola-pola dalam konsepnya. Apabila kita mengkaji pola-pola tersebut maka kita
akan mnegetahui bahwa sistem nilai, perbedaan derajat, serta basis dan stratifikasi sosial
terkandung di dalam rekrutmen politik. Pola-pola rekrutmen politik ini
secara tidak disengaja menjadi indikator yang cukup penting untuk melihat
pembangunan dan perubahan suatu negara. Di dalam pola-pola ini memiliki
keterkaitan antara rekrutmen dan perekonomian suatu negara mampu menkaji
pergeseran ekonomi masyarakat, infrastruktur politik, serta derajat politisasi dan
partisipasi masyarakat. Artinya pemimpin-pemimpin yang baru
akan membentuk kebijakan-kebijakan terbarunya yang mengarah demi kemajuan
negaranya serta faktor politik menciptakan terjadinya iklim politik yang cukup
mempengarauhi pergerakan ekonomi suatu Negara di dalamnya.
c. Prosedur-prosedur yang
Berlaku untuk Mendapatkan Suatu Peran Politik
i.
Pemilihan umum
Seluruh masyarakat Indonesia setiap 5 tahun sekali melaksanakan
pemilihan umum yaitu kegiatan rakyat dalam memilih orang atau sekelompok orang
untuk menjadi pemimpin bagi rakyatnya, pemimpin Negara, atau pemimpin di dalam pemerintahan
dan merupakan mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
warga Negara dalam proses memilih sebagian rakyatnya menjadi pemimpin di
dalam pemerintahan.
ii.
Ujian
iii.
Training formal
iv.
Sistem giliran
Sedangkan
menurut teori Almond dan Powell prosedur-prosedur rekrutmen politik terbagi
dalam dua bagian yaitu:
Prosedur tertutup, artinya rekrutmen dilakukan oleh elit partai yang memiliki
kekuasaan untuk memilih siapa saja calon-calon yang dianggap layak diberikan
jabatan berdasarkan skill dan kapasitas yang dimilikinya untuk memimpin. Sehingga prosedur ini dianggap prosedur
tertutup karena
hanya ditentukan oleh segelintir orang.
Prosedur terbuka, artinya setiap masyarakat berhak untuk memilih siapa saja
yang bakal menjadi calon pemimpin di dalam negaranya serta pengumuman hasil
pemenang dari kompetisi tersebut dilaksanakan secara terbuka dan terang-terangan dikenal dengan istilah LUBER (Langsung Umum Bebas dan
Rahasia), JURDIL (Jujur dan Adil)
d. Jalur-jalur Politik dalam
Rekrutmen Politik
Jalur koalisi partai atau pimpinan-pimpinan partai artinya koalisi-koalisi partai merupakan
bagian terpenting di dalam rekrutmen politik karena sebagian besar kesepakatan
dan pengangkatan politik di adopsi dari hasil koalisi-koalisi antarpartai yang berperan dalam
suatu lingkup politik.Artinya rekrutmen politik tidak terlepas dari peranan
koalisi partai.
Jalur rekrutmen berdasarkan kemampuan-kemampuan
dari kelompok atau individu artinya jalur ini menjadi kriteria dasar dalam perekrutan
seseorang karena dinilai dari berbagai segi yaitu kriteria-kritreia tertentu, distribusi-distribusi kekuasaan, bakat-bakat yang terdapat di dalam
masyarakat, langsung tidak langsung menguntungkan partai politik.
Jalur rekrutmen berdasarkan kaderisasi artinya setiap kelompok-kelompok partai
harus menyeleksi dan mempersiapkan anggota-anggotanya yang dianggap mampu dan
cakap dalam mendapatkan jabatan-jabatan politik yang lebih tinggi jenjangya
serta mampu membawa memobilisasi partai-partai politiknya sehingga memberi
pengaruh besar dikalangan masyarakat.
Jalur rekrutmen politik berdasarkan ikatan promodial. Di zaman modern ini jalur rekrutmen
promodial tidak menutup kemungkinan terjadi di dunia politik. Fenomenal itu terjadi karena adanya
hubungan kekerabatan yang dekat antara orang perorangan yang memiliki jabatan
politik sehingga ia mampu memindahtangankan atau memberi jabatan tersebut kepada kerabat
terdekatnya yang dianggap mampu dan cakap dalam mengemban tugas kenegaraan. Fenomena ini dikenal dengan nama “rekrutmen
politik berdasarkan ikatan promodial”.
e. Pembagian
Jabatan di dalam
Politik
Jabatan politik artinya jabatan yang diperoleh sebagai dari hasil pemilihan
rakyatnya atau yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dan dikenal sebagai
seorang “politikus”. Masa jabatanya hanya dua kali periode.
Jabatan administratif artinya jabatan yang diperoleh secara manual melalui
tahap-tahap pendidikan dan pelamaran kerja. Jabatan ini dianggap pasti dan mampu
menjamin hidup para “administrator” karena masa jabatanya berlangsung lama. Para administrator ini dikenal
sebagai atribut negara karena menjadi indikator pelengkap dan pendukung dalam
membantu tugas para politikus.
f. Sistem Perekrutan
Politik Terdiri dari
Beberapa Cara
a. Seleksi pemilihan melalui ujian
b. Latihan ( training ) Kedua hal tersebut menjadi indikator utama didalam perekrutan politik
c. Penyortiran atau penarikan
undian(cara tertua yang digunakan di Yunani kuno)
d. Rotasi memiliki tujuan mencegah
terjadinya dominasi jabatan dari kelompok-kelompok yang berkuasa maka perlu
adanya pergantian secara periode dalam jabatan-jabatan politik.
e. Perebutan kekuasaan dengan
menggunakan atau mengancam dengan kekerasan.Cara ini tidak patut dicontoh
karena untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah harus melakukan
tindakan-tindakan tidak terpuji karena kita telah dididik dengan baik dan harus
menerapkan teknik-teknik yang baik pula dalam berpolitik.
f. Petronag artinya suatu jabatan dapat dibeli dengan mudah
melalui relasi-relasi terdekat. Petronag masih memiliki
keterkaitanya dengan budaya korupsi.
g. Koopsi ( pemilihan anggota-anggota baru ) artinya memasukan orang-orang atau
anggota baru untuk menciptakan pemikiran yang baru sehingga membawa suatu
partai pada visi dan misi yang ditujunya.
D.
Penjabaran Kasus dan Data
1.
Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru rekrutmen
politik bersifat tertutup. Political
recruitment merupakan proses pengisian jabatan politik dalam
penyelenggaraan politik pemerintahan negara. Termasuk didalamnya adalah jabatan
eksekutif (presiden disertai dengan para menteri kabinet), legislatif (MPR,
DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II), dan jabatan lembaga tinggi negara
lainnya, seperti Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan lain-lain. Dalam
negara yang demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat
mempunyai peluang yang sama untuk mengisi
jabatan politik tersebut. Akan tetapi, di Indonesia, sistem rekrutmen
politik tersebut
bersifat tertutup, kecuali anggota DPR yang berjumlah 400 orang. Pengisian
jabatan di lembaga tinggi negara, seperti Mahkamah Agung. Badan Pemeriksa
Keuangan, Dewan Pertimbangan Agung, dan jabatan-jabatan dalam birokrasi,
dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan. Demikian juga dengan anggota
badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100 orang dipilih melalui proses
pengangkatan. Demikian juga dengan keanggotaan di Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dimana tidak kurang dari 400 orang anggota lembaga tersebut dipilih
oleh DPRD Tingkat I, yang kemudian diangkat dengan surat keputusan presiden, sementara yang 100 orang diangkat oleh presiden, atas usul dari
organisasi kemasyarakatan. Sementara itu, dalam kaitannya dengan rekrutmen
politik lokal-seperti gubernur, bupati/wali kota-masyarakat didaerah hampir
tidak mempunyai peluang untuk untuk menentukan pemimpin mereka, karena kata
akhir tentang siapa akan menjabat ada di Jakarta. Jelas, proses rekrutmen politik
ini bertentangan dengan semangat demokrasi. Sebab, menurut kaidah demokrasi
yang umum berlaku, partai yang menang dalam suatu daerah diberi kesempatan
untuk membentuk eksekutif. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di Indonesia,
karena proses rekrutmen tersebut diatur dengan mekanisme lain.
Presiden memiliki “sumber daya
kekuasaan yang sangat besar”, yang dapat dipergunakan untuk memelihara
kekuasaan yang sedang dimilikinya, sehingga tidak ada seseorang pun atau
institusi apa pun yang akan mampu bersaing dengan presiden yang sedang memegang
jabatan. Salah satu sumber
daya kekuasaan tersebut adalah presiden mengontrol Rekrutmen politik.
1) Presiden
mengontrol rekrutmen Lembaga Tinggi Negara
Sekalipun
presiden –menurut Undang-Undang Dasar 1945- mempunyai kedudukan yang sama
dengan beberapa lembaga tinggi negara yang lain, seperti: DPR, DPA, BPK, dan
MA, dalam kenyataannya presiden merupakan primus
inter pares, atau mempunyai posisi yang lebih menguntungkan, bahkan lebih
penting daripada lembaga tinggi negara lain tersebut. Hal lain terjadi karena
presiden mempunyai kewenangan untuk mengontrol rekrutmen dalam rangka pengisian
jabatan lembaga-lembaga tinggi negara tersebut.
Anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat berjumlah 1.000 orang, yang terdiri atas 500
orang anggota DPR dan 500 orang yang mewakili utusan daerah dan golongan. Di
antara sejumlah 1000 orang
tersebut, mekanisme pengisisan jabatannya adalah sebagai berikut:
-
400 orang dipilih
melalui pemilu
-
200 orang diangkat
langsung oleh presiden, yaitu 100 orang untuk anggota MPR yang berasal dari
anggota DPR Fraksi ABRI, dan 100 orang lagi diangkat untuk mewakili
golongan-golongan.
-
400 orang diusulkan
oleh DPRD Tingkat
I, setelah melalui pemilihan, dan keanggotaannya disahkan dengan surat
keputusan presiden.
Gambar 2. mekanisme pengisian jabatan MPR pada Orde Baru
Pengisiaan
jabatan lembaga tinggi negara yang lain juga dilakukan oleh presiden, seperti:
Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Ketua Mahkamah Agung, dan
Hakim-hakim Agung, serta Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Karena
tidak diakuinya mekanisme checks and balances, DPR boleh dikatakan
tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol proses rekrutmen tersebut. Tentu
saja, sekalipun tidak diperhatikan dengan jelas, rekrutmen politik seperti itu
merupakan cara yang paling efektif dalam rangka memberikan reward dalam arti yang luas kepada seseorang ataupun kelompok, yang
akhirnya akan menentukan mobilisasi dukungan kepada presiden.
2) Presiden
mengontrol rekrutmen eksekutif
Karena
presiden merupakan institusi yang memimpin kekuasaan eksekutif, ia juga
mempunyai previlage tertentu untuk mengadakan rekrutmen guna
mengisi jabatan sejumlah posisi eksekutif dalam bidang pemerintahan, seperti:
anggota kabinet (menteri, menteri negara, dan menteri koordinator) dan
jabatan-jabatan yang setingkat dengan menteri, seperti Ketua/Kepala Lembaga,
misalnya Bakortanas, Bakorsutanas, Batan, Lapan, BPPT, dan LIPI. Seperti halnya
dengan pengisian jabatan lainnya, DPR sama sekali tidak memiliki kewenangan
untuk ikut ambil bagian dalam proses rekrutmen ini.
Mekanisme
seperti yang diungkapkan di atas mempunyai dampak positif ataupun negatif. Secara positif, mekanisme
rekrutmen tersebut dapat menciptakan suatu pemerintahan (dalam arti luas) yang
kompak, sehingga konflik antar lembaga-lembaga yang setingkat dapat dihindari.
Di samping itu, presiden merupakan figur yang paling tahu kriteria apa yang
dibutuhkan untuk memilih sejumlah staf yang mampu menjalankan kepercayaannya.
Sisi negatifnya, mekanisme seperti ini memberikan kewenangan kepada presiden
untuk memilih dan mengangkat orang-orang yang pada prinsipnya selalu diperlukan
untuk mendukung kepentingan politik presiden sendiri. Akibat selanjutnya
adalah, mekanisme kontrol antara satu institusi terhadap institusi yang lain
tidak dapat dijalankan dengan baik, apalagi dalam masyarakat kita dimana tata
nilai budaya dapat menghambat seseorang untuk mengekspresiakan apa yang
terdapat dalam pikirannya dengan seutuhnya.
Dalam
masa pemerintahan Orde Baru, pergantian kabinet dilakukan secara teratur selama
lima tahun sekali. Presiden sendiri yang akan menentukan siapa yang akan menduduki jabatan
apa. Tidak jarang dalam proses rekrutmen ini terjadi kejutan-kejutan,
karena yang bersangkutan tidak mengira akan dipilih oleh presiden untuk menjadi
menteri atau pejabat yang setingkat dengan itu. Biasanya, sebelum pengumuman
pembentukan kabinet, spekulasi dan gosip selalu bermunculan tentang siapa-siapa
yang akan menjadi menteri, dan siapa-siapa yang tidak akan diangkat lagi oleh presiden.
Hal ini menjadi menarik dan merupakan salah satu ciri khas dari perpolitikan
Indonesia, akibat rekrutmen politik kita yanng tidak terbuka.
3) Presiden
mengontrol rekrutmen organisasi politik
Hal
lain yang berhubungan dengan rekrutmen politik ini adalah kenyataan bahwa
Lembaga Kepresidenan juga mengontrol secara langsung rekrutmen pengurus partai-partai politik di Indonesia. Siapa yang
akan menjadi pimpinan partai politik, terutama ketua partai, secara langsung
atau tidak, dikontrol olehnya. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan kongres,
muktamar, ataupun musyawarah nasional dari partai-partai politik di Indonesia,
dapat kita jadikan kasus penelaahan.
Pada
tahun 1968, Partai Muslim Indonesia, yang kemudian menjadi Parmusi, mengadakan
Muktamar Nasional yang pertama di Malang, Jawa Timur. Arena muktamar dengan
semangat demokrasi yang kuat kemudian memilih Mr. Mohammad Roem sebagai ketua.
Tetapi, pihak pemerintah tidak menerima kehadiran Roem, karena beliau dan
kawan-kawannya merupakan komponen yang sangat penting dalam tubuh partai
Masyumi, sebuah partai yang dibubarkan oleh Soekarno tahun 1960. Asisten
Pribadi (Aspri) Presiden kemudian mengirim telegram yang mengingatkan PMI, agar
konsensus dengan presiden dipegang. Akhirnya, Partai Muslim Indonesia memilih
H. Djarnawai Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai ketua dan sekretaris jendral
partai tersebut. Tetapi, ketika menjelang diadakannya pemilu yang pertama pada
masa Orde Baru, kepemimpinan Djarnawai Hadikusumo dan Lukman Harun diambil alih
oleh John Naro dan Imran Kadir atas bantuan Opsus-nya
Ali Moertopo, dengan alasan: Djarnawai Hadikusumo dan Lukman Harun tidak dapat
bekerja sama dengan pemerintah dan ABRI. Sebagai jalan keluar dari kemelut itu,
akhirnya pemerintah menunjuk H.M.S. Mintaredja, S.H. sebagai ketua partai
tersebut, yang kemudian diteruskan oleh John Naro sampai tahun 1989.
Kasus
yang sama dapat kita amati dalam rekrutmen Partai nasional Indonesia, yang
kemudian berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Ketika PNI mengadakan
Kongres Nasional di Senarang, Jawa Tengah, tahun 1969, sudah hampir dapat
dipastikan bahwa yang akan menjadi ketua partai tersebut adalah Hardi, S.H.
tetapi, karena Hardi dianggap tidak
akan dapat bekerja sama dengan pemerintah, Opsus-nya
Ali Moertopo secara langsung terlibat dalam kongres tersebut, dengan memaaksa
peserta kongres untuk memilih Hadisubono, S.H. menjadi ketua. Sejak itu,
rekrutmen kepemimpinan partai tersebut selalu ramai dan melibatkan pemerintah,
seperti proses terpilihnya Soerjadi sebagai ketua PDI pada 1985, yang
melibatkan Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam. Kemudian, kita juga
mengetahui, bahwa Surjadi yang hampir secara mutlak mendapat dukungan pada
Kongres PDI di Medan bulan Agustus 1993, kemudian digagalkan. Ketika partai
tersebut mengadakan Kongres Luar Biasa di Surabaya pada akhir 1993, pemerintah
juga terlibat secara langsung memaksa kongres memilih calonn yang didukung oleh
pemerintah. Hanya saja, KLB PDI menolak proses pemaksaan tersebut, dengan
sepenuhnya mendukung Megawati Soekarno Putri sebagai ketu yang baru. Itu pun
setelah melalui proses yang teramat panjang dan melelahkan.
Bagaimana
dengan rekrutmen Golongan Karya? Presiden adalah Ketua Dewan Pembina Partai
Golkar. Sehingga, boleh dikatakan bahwa presiden mempunyai hak veto untuk menentukan siapa yang akan
menjadi ketua dan anggota pengurus yang lain bagi Golkar. Mekanisme Munas
Golkar pada Oktober 1993 merupakan calon konkret. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah partai tersebut ketuanya adalah dari kalangan sipil, yaitu H. Harmoko.
Sementara itu, kalau kita mengamati Munas tersebut, tidak semua angota delegasi atau DPD Tingkat I dan
II menyatakan dengan tegas memilih Harmoko. Tetapi Dewan Pembina sudah
menentukan siapa yang akan menjadi formatur pembentukan pengurus partai Golkar
yang diketuai Menteri B.J. Habibie. Dugaan umum masyarakat yang berkembang jauh
sebelum Munas dilakukan, ternyata menjadi kenyataan, Harmoko terpilih oleh
anggota formatur menjadi Ketua Golkar.
Larangan masuk partai politik bagi
PNS, tidak berlaku terhadap Golkar. Bahkan PNS dihimpun dalam KORPRI (Korp
Pegawai Negeri) dan diwajibkan aktif dalam Golkar sebagai perwujudan loyalitas
tunggal (mono loyalitas). Demikian juga perwakilan ABRI ditampung melalui jalur
khusus dalam Golkar disamping ada perwakilan sendiri dalam DPR. Akibatnya bisa
dibayangkan, persaingan antar partai menjadi tidak fair. ABRI sebagai
alat negara diubah menjadi alat kekuasaan pemerintah untuk menindas lawan-lawan
politiknya.
2.
Masa Sekarang
MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR
terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan
yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692
orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan
anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang
baru mengucapkan sumpah/janji. Oleh karena
itu, pada masa sekarang presiden tidak lagi dapat mengontrol rekrutmen politik.
Sembilan bulan pertama tahun 2004
ditandai dengan berbagai aktivitas politik menyambut pemilihan umum untuk
menentukan anggota dewan dan presiden. Pemilihan umum untuk memilih DPR yang berjumlah 550 kursi (kini semuanya
dipilih oleh rakyat), DPRD provinsi, kabupaten, dan kotamadya, dan anggota
sebuah lembaga nasional yang baru, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang
beranggotakan 128 orang, digelar pada bulan April. DPD dipandang sebagai
sejenis senat, walaupun pada waktu selanjutnya ia masih harus berjuang untuk
menentukan perannya yang jelas dalam kehidupan perpolitikan Indonesia. MPR—yang
digunakan Soeharto untuk melegitimasi kepresidenan dan berbagai
kebijakannya—kini terdiri dari DPR dan DPD yang duduk bersama dan, karenanya, merupakan
sebuah lembaga yang sepenuhnya dipilih sepenuhnya oleh rakyat. MPR tidak akan
lagi berhak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang akan dipilih secara
langsung oleh rakyat.
Pemilihan umum April ini
membutuhkan dukungan logistik yang luar biasa besar. Jumlah pemilih keseluruhan
147 juta, terdapat hamper 450.000 kandidat yang bersaing dan sekitar 585.000
tempat pemungutan suara, serta lebih dari 600 juta kertas suara harus dicetak.
Komisi pemilihan umum sebagian besar diawaki oleh kalangan aktivis masyrakat
sipil, yang dipandang akan mampu menggawangi pemilihan umum yang jujur dan
adil. Terlepas dari munculnya beberapa persoalan, pemulihan umum berlangsung
bebas, adil, dan damai. Meskipun demikian, prosesnya tidak sepenuhnya terbebas
dari korupsi, yang akhirnya mengakibatkan beberapa anggota komisi pemilihan
umum terseret ke meja hijau dan dijatuhi hukuman.
Hasil pemilihan umum parlemen pada
bulan April 2004 di tingkat nasional adalah sebagai berikut (dengan mengabaikan
beberapa inkonsistensi yang sifatnya minor dalam berbagai tabulasi hasil yang
ada).
Partai
|
Suara
sah
|
%
suara sah
|
Kursi
parlemen
|
%
kursi parlemen
|
Golkar
|
24.480.757
|
21,6
|
128
|
23,3
|
PDIP
|
21.026.629
|
18,5
|
110
|
20,0
|
PKB
|
11.989.564
|
10,6
|
53
|
9,6
|
PPP
|
9.248.764
|
8,2
|
57
|
10,4
|
Demokrat
|
8.455.225
|
7,5
|
58
|
10,5
|
PKS
|
8.325.020
|
7,3
|
45
|
8,2
|
PAN
|
7.303.324
|
6,4
|
54
|
9,8
|
Lain-lain
|
22.633.131
|
19,9
|
45
|
8,2
|
Total
|
113.462.414
|
100,0
|
550
|
100,0
|
Ada beberapa hasil yang layak
diperhatikan. Dukungan untuk PDIP pimpinan Megawati menurun secara drastis dari
33,7 persen pada pemilu tahun 1999 menjadi 18,5 persen pada tahun 2004. Namun
demikian, dukungan untuk Golkar tetap cukup stabil : 22,4 persen pada tahun
1999, 21,6 persen pada tahun 2004. PKB yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid
menurun dari 12,6 persen (1999) menjadi 10,6 persen (2004), tetapi tetap
menjadi sebuah parati politik yang signifikan. Beberapa partai baru muncul
sebagai kekuatan yang berarti, khususnya Partai Demokrat yang dipimpin oleh
Susilo Bambang Yudhoyono, yang
memperoleh 7,5 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang memenangkan
7,3 persen. PKS merupakan sebuah partai yang dilandaskan pada Islam
fundamentalis, namun dalam kampanye pemilunya tidak mengusung isu-isu Islam
tapi penentangan terhadap korupsi dan tuntutan akan keadilan dan kesejahteraan
yang lebih merata. Di dalam pemilihan anggota DPRD di Jakarta, PKS bahkan
muncul sebagai partai terbesar karena mendulang hampir seperempat dari
seluruh suara.
Masih terdapat tanda-tanda
loyalitas politik yang berbeda antara luar Jawa dan Jawa, dimana Golkar lebih
kuat di kawasan yang disebut pertama. Partai ini memperoleh 70 (55 persen) dari
128 kursi di DPR-nya dar luar Jawa, semetara PDIP mendapatkan 72 (66 persen)
dari 110 kursinya dari konstituennya di Jawa. Kaum perempuan masih belum
terwakili secara baik. Terlepas dari harapan bahwa 30 persen dari kandidat yang
diajukan partai adalah kaum perempuan, pada akhirnya hanya 12 persen dari
anggota dewan yang terpilih adalah dari kaum tersebut (1999: 9 persen).
Persentasi anggota DPR perempuan di antara partai-partai besar adalah 14 persen
untuk Golkar dan Partai Demokrat serta 13 persen untuk PAN dan PKB. Walaupun 40
persen dari kandidat yang diajukan PKS merupakan kaum perempuan, hanya tiga (7
persen) dari calonnya yang terpilih sebagai anggota DPR adalah perempuan. Di
DPD, 21 persen anggotanya adalah kaum perempuan.
Untuk kali pertama dalam sejarah
Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan
ini dilaksanakan dalam dua putaran pada bulan Juli dan September 2004. Di
putaran pertama, semua pasangan calon calon Presiden dan Wakil Presiden diisi
oleh satu orang dengan latar belakang Islam yang kuat. Wiranto menjadi calon Presiden dari
Golkar, Megawati Sukarnoputri dari PDIP, Amien Rais dari PAN, Susilo Bambang
Yudhoyono dari Partai Demokrat, dan Hamzah Haz dari PPP. Lebih dari 155 juta
pemilih terdaftar untuk mencoblos dalam pemilihan yang sekali lagi berlansung
jujur dan adil ini. Megawati memenangi 26,6 persen suara sementara Susilo
Bambang Yudhoyono 33,6 persen. Maka, dalam pemilihan bulan September keduanya
saling bersaing.
Penting untuk dicatat bahwa dalam
pemilihan Presiden bulan Juli, sangat banyak pemilih tidak mendukung calon yang
diusung oleh partai yang mereka pilih pada bulan April, tetapi malah beralih ke
kandidat lain. Hal ini menegaskan bahwa pemilih Indonesia sangat individualis
dalam pengambilan keputusan mereka dan tidak mau tunduk pada seruan loyalitas
yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin partai dan kalangan yang disebut
pemegang otoritas tradisional seperti tokoh agama. Demokrasi baru Indonesia,
dengan kata lain, telah meresap dalam hingga ke tingkatan akar rumput. Banyak
pemilih terdaftar juga tidak menggunakan haknya dalam pemilihan umum tahun 2004
ini : 16 persen pada bulan April, hampir
20 persen pada bulan Juli dan mendekati 24 persen pada bulan September, mungkin
mencerminkan kelelahan mereka untuk mengikuti tahap pemilihan yang panjang
tersebut.
Era
reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat
politik. Proses rekrutmen parlemen berlangsung lebih terbuka dan kompetitif,
dengan campur tangan yang minimal dari tangan-tangan penguasa dan birokrasi.
Tetapi
perubahan itu bersifat transisional dan belum sempurna sehingga tidak mempunyai
kontribusi yang pasti terhadap konsolidasi demokrasi, khususnya di sektor
masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik parlemen, ada sejumlah
gejala yang tidak kondusif bagi proses membangun demokrasi.
Proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan
partisipatif. Pihak kandidat sama sekali tidak mempunyai sense terhadap
konstituen yang menjadi basisnya karena dia hanya “mewakili” daerah
administratif (bukan konstituen yang sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk
membangun akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya
masyarakat juga tidak tahu siapa kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak
akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Masyarakat juga tidak bisa
menyampaikan voice untuk mempengaruhi kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar
calon, karena hal ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses dialog
yang terbuka antara partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak
ada kontrak sosial dimana masyarakat bisa memberikan mandat kepada partai.
Masyarakat hanya memberikan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai
bisa mengisi seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu. Masyarakat memang
berpartisipasi dalam proses rekrutmen, yakni dengan memberikan hak pilih dalam
pemilu. Tetapi vote dari masyarakat itu bukanlah partisipasi yang sebenarnya,
kecuali hanya sebagai ritual politik yang menempatkan masyarakat sebagai obyek
mobilisasi. Lebih dari sekadar vote, partisipasi adalah voice, akses dan
kontrol yang antara lain berlangsung dalam arena kontrak sosial antara partai
dengan konstituen.
Dalam proses rekrutmen tidak dibangun relasi (linkage) yang
baik antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya
dipandang secara numerik sebagai angka, bukan sebagai konstituen yang harus
dihormati dan dipejuangkan. Berbagai organisasi masyarakat hanya ditempatkan
sebagai underbow, sebuah mesin
politik yang memobilisasi massa, bukan sebagai basis perjuangan politik partai.
Sebaliknya, pihak aktivis organisasi masyarakat tidak memandang partai politik
sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement) untuk mempengaruhi
kebijakan dan mengontrol negara, melainkan hanya sebagai “kendaraan politik”
untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan. Akibatnya, para anggota parlemen hanya
berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bukan pada misi perjuangan politik
yang berguna bagi masyarakat. Bahkan ketika berhasil menduduki jabatan
parlemen, mereka melupakan basis dukungan massa yang telah mengangkatnya meraih
kekuasaan. Tidak sedikit anggota DPRD yang mengabaikan forum atau partisipasi
ekstraparlementer, karena mereka mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga
perwakilan paling absah dan partisipasi itu tidak diatur dalam udang-undang
atau peraturan daerah.
Dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan
pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin
politik” atau “mesin politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek
legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan. Para mantan tentara dan
pejabat diambil bukan karena mempunyai visi-misi, melainkan karena mereka
mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para pengusaha dicomot karena mempunyai
duit banyak yang bisa digunakan secara efektif untuk dana mobilisasi hingga
money politics. Para selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak
penggemar. Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil
karena mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara mudah mengambil tokoh ormas, intelektual, atau
akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai
sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual
maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung
atau sulit diajak bergabung ke partai politik, sebab dalam partai politik tidak
terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal
comot” yang dilakukan partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan
kuota 30% kursi untuk kaum perempuan.
Proses kampanye (sebagai bagian dari mekanisme rekrutmen)
tidak diisi dengan pengembangan ruang publik yang demokratis, dialog yang
terbuka dan sebagai arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama,
melainkan hanya sebagai ajang “show of force, banter-banteran knalpot, dan obral
janji”. Bagi para pendukung partai,
kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan ekspresi identitas
yang kurang beradab. Mereka bisa memperoleh “wur-wur” dalam bentuk jaket, topi,
kaos, atribut-atribut partai lain secara gratis, menerima sembako atau sekadar
uang bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye digelar, yang hadir hanyalah
fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan stakeholders yang luas untuk
menyampaikan mandat dari masyarakat.
Proses pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam
konteks “massa mengambang” yang kurang terdidik dan kritis. Dalam jangka yang
cukup panjang masyarakat Indonesia tidak memperoleh pendidikan politik secara
sehat sehingga menghasilkan jutaan pemilih tradisional yang sangat rentan
dengan praktik-praktik mobilisasi (mobilized voters). Sekarang, meski ada
kebebasan yang terbuka, pendidikan politik secara sehat belum terjadi. Partai
politik tidak memainkan peran yang memadai dalam pendidikan politik kepada
masyarakat. Sampai sekarang sebagian besar rakyat Indonesia adalah silent majority, yang tenang, apatis
(masa bodoh) dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik. Akibatnya budaya
politik yang partisipatif (civic culture) belum terbangun. Kondisi seperti ini
tentu saja tidak memungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan
partisipatif.
E.
Analisis
Pada Masa Orde
Baru, proses rekrutmen politik tidak dilaksanakan berdasar pada kualitas namun fungsi
rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Karena pada
masa itu proses rekrutmen politik mengalami banyak penyimpangan apabila dilihat
dari fungsi rekrutmen politik yang ideal. Contohnya seperti kasus yang ada di
atas, yaitu PNS dan ABRI diberikan posisi di dalam pemerintah yang melebihi
porsinya. Sebenarnya tidak masalah apabila PNS dan ABRI diberikan posisi di
dalam pemerintahan, jika mereka benar-benar dianggap mampu dalam menjalankan
tugas yang diamanatkan kepada mereka. Namun, posisi PNS dan ABRI disini
bukanlah untuk menunjang kinerja pemerintah. Melainkan sebagai suatu langkah
untuk mempertahankan Legitimasi Soeharto sebagai penguasa.
Pada masa
sekarang posisi ABRI dan PNS tidak menjadi alat untuk mempertahankan kedudukan
politik. Pada masa sekarang, proses rekrutmen politik lebih menjunjung tinggi
asas demokrasi dan transparansi. Presiden tidak lagi dapat mengontrol rekrutmen
politik karena dipilih langsung oleh rakyat. Porsi partisipasi politik
masyarakat juga lebih seimbang, juga
tidak menyalahi peraturan perundangan seperti Masa Orde Baru.
F.
Kesimpulan
Rekrutmen politik atau penyeleksian rakyat untuk kegiatan
politik dan jabatan pemerintahan dilakukan agar nantinya pihak-pihak
maupun individu-individu yang terlibat merupakan orang-orang pilihan, sehingga
dapat menjalankan peranannya dengan semestinya.
Proses
rekrutmen politik pada masa orde baru, Presiden dapat mengontrol semua elemen
sistem politik untuk memperkuat kedudukannya. Partisipasi politik didominasi
oleh satu golongan yaitu golongan karya.
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan
signifikan dalam masyarakat politik. Proses rekrutmen parlemen berlangsung
lebih terbuka dan kompetitif, dengan campur tangan yang minimal dari
tangan-tangan penguasa dan birokrasi.
Tetapi perubahan itu bersifat transisional dan belum
sempurna sehingga tidak mempunyai kontribusi yang pasti terhadap konsolidasi
demokrasi, khususnya di sektor masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen
politik parlemen, ada sejumlah gejala yang tidak kondusif bagi proses membangun
demokrasi.
Dari rekrutmen politik di masa orde baru yang cenderung
didominasi oleh satu golongan, terjadi
konflik kepentingan dalam pemerintahan. Pejabat pemerintahan lebih mementingkan
kepentingan golongan daripada kepentingan rakyat. Rakyat tidak mendapatkan
haknya untuk bebas beraspirasi. Sedangkan pada masa sekarang, sistem politik
yang terbentuk lebih demokratis karena proses rekrutmen yang dilakukan
melibatkan rakyat secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Gaffar,Afan. 2005. Politik IndonesiaTransisi
Menuju Demokrasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Ricklefs,m.c. 2009.
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi